Menginisiasi Munculnya Psikologi Indonesia
By Psikologi Universitas Muria Kudus - Rabu, 12 Januari 2011
Fakultas Psikologi UMK – Keniscayaan Psikologi Indonesia agaknya bukan soal “Adanya”, tapi soal “Bagaimana Mengadakan”. Artinya, kita tak bisa sekadar berasumsi tentang adanya muatan lokal dari kasunyatan kajiwan (KK) sebagai seolah sudah eksis dalam konteks kehidupan budaya dan perilaku orang Indonesia. Tampaknya kita perlu dan harus menempatkan cara berpikir dan kecanggihan metodologik sebagai suatu conditio sine qua non yang tak dapat ditawar guna melegitimasikan manifesto keilmuan psikologik tentang KK Indonesia.
Salah satu sebab mengapa kesulitan mengadakan hal tersebut, antara lain ialah kurangnya pemahaman psikologik untuk meningkatkan kualitas pengajaran psikologi itu sendiri dalam konteks Indonesia. Menurut Gale, “The typical psychology degree on offer today falls very short of the ideal. A major problem, or cause of the problem, is that psychologists have not used psychology itself to design the degree”.
Andaikan saja para pengajar psikologi dan psikolog memiliki kecanggihan informasi dan metodologik, mungkin mereka menjadi peka menangkap tantangan yang ada dan bersedia mengevaluasi kinerja mereka sendiri. Tanpa kedua hal, agaknya mereka sulit untuk mengoperasionalkan teori-teori psikologi, khususnya yang dikembangkan atas dasar penelitian eksperimental, atau melakukan pengujian terhadap teori yang bermasalah ketika dikontekstualisasikan secara lokal. Pernyataan ini dimunculkan oleh DR Edy Suhardono, M.Psi dalam kuliah umum yang digelar Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus di Gedung Rektorat ruang seminar lantai 4, pada hari Senin 27 Desember 2010.
Lanjutnya,”Metode Pengajaran Experiential (PE) telah dipraktikkan sejak zaman kuno, dan menghasilkan beberapa kawruh, seperti Primbon. Asumsi saya, jika Ki Ageng Suryomentaram dapat menghasilkan konsep Kromodongso, salah satunya ujaran Ki Ageng Soerjomentaram yang dengan kesungguhan hati mencoba untuk mengaktualisasikan mawas diri sebagai bagian dari pendidikan orang dewasa dan bukan sekedar truisme, seperti tertulis dalam kitab Wedhatama: Rumangsa melu anduweni, Wajib melu angkrungkebi, Mulat sarira angsara wani. Ki Ageng Soerjomentaram memilih mawas diri sebagai suatu ulah, laku untuk menjadi “manusia tanpa ciri“ jauh dari egoisme. Mawas diri telah menjadi bagian dari akal sehat masyarakat jawa untuk masa yang lama. Ki Ageng Soerjomentaram menganjurkan supaya orang tidak selalu ngangsa-angsa, ngaya-aya dan berpedoman “Enam Sa” yaitu : Sabutuhe, Saperlune, Sacukupe, Sakepenake, Samestine, Sabenere. Dimana dalam psikologi modern dikenal sebagai kontrol diri atau Pakubuwono VII menghasilkan Primbon Adamakna, penajaman atas metode PE niscaya menghasilkan KK yang khas Indonesiawi,”.
”Kuliah umum ini diadakan dengan tujuan agar mahasiswa memahami pengertian dan konsep-konsep dasar psikologi indonesia dan mengerti keterkaitan psikologi modern dengan psikologi lokal ”, Ungkap Sekretaris F.Psi UMK, M. Widjanarko, S.Psi., M.Si kepada Portal UMK.
“Saya suka acara ini, bisa menambah wawasan dan pikiran mahasiswa”, Kata Anggi, mahasiswa semester satu, ditambahkan oleh Nebi, mahasiswa semester tujuh, ”Narasumbernya komunikatif dan memiliki kompetensi untuk itu,”
Follow our blog on Twitter, become a fan on Facebook. Stay updated via RSS