Latest News

Memahami Kehidupan Pekerja Seks

By Psikologi Universitas Muria Kudus - Selasa, 25 Juni 2013



Memahami Kehidupan Pekerja Seks: Kuliah Lapangan Psikologi Sosial

Pertama kali mendengar kata Sarkem atau Pasar Kembang, satu makna yang terlintas di benak saya saat itu adalah pasar kembang, tempat dimana orang berjualan kembang (baca: bunga) yang biasanya digunakan untuk keperluan berziarah ke makam. Jika orang awam ditanyakan hal yang serupa, pastilah mereka akan berpikiran sama seperti saya.

Hal ini yang pertama kali tersirap dalam pikiran, ketika dosen Psikologi Sosial kami, M.Widjanarko S.Psi, M.Si, akan mengajak kami untuk kuliah lapangan mengenalkan kasus sosial pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus dan membekali mahasiswa agar memiliki pengalaman di lapangan.
Pemikiran awal, memiliki bentuk logika yang nyata. Senin, 27 Mei 2013 jam 20:00-an akhirnya kami berada di Pasar Kembang. Sepertinya masyarakat Yogyakarta, siapa yang tak mengenal Sarkem dari pejabat, pegawai, mahasiswa, pedagang hingga tukang becak, mereka semua tahu tentang Sarkem. Ya, Pasar Kembang atau yang lebih populer dengan sebutan Sarkem merupakan lokalisasi prostitusi terbesar di Yogyakarta, dekat jalan terkenal di Yogyakarta, Malioboro.

Disanalah para PS (baca: pekerja seks) menjalani kehidupan malamnya. Meskipun tidak sebesar Dolly di Surabaya atau Sunan Kuning di Semarang, Sarkem tetap memiliki magnet tersendiri bagi para penikmatnya ataupun bagi para orang-orang yang ingin sekedar tahu lebih tentang kehidupan pekerja seks di Sarkem, Yogyakarta. Salah satu hal unik dari Sarkem ini adalah letaknya.  Jika di kota-kota lain lokalisasi prostitusi terletak di pinggiran kota atau wilayah terpencil, Sarkem justru berada di pusat tujuan wisata Malioboro tepatnya di Gang III RW Sastrowijayan. Di gang itulah berjajar losmen-losmen tempat para PS menawarkan jasanya. Tempat lokalisasi prostitusi yang terletak di pusat tujuan wisata Malioboro menjadi hal yang menarik untuk ditelisik lebih jauh lagi. 

Berawal dari rasa ingin tahu dan mendapatkan pengalaman lapangan, saya mulai membuka wawasan baru dengan menemui anggota bunga Seroja dan perwakilan dari PKBI Yogyakarta yang mendampingi PS. Lokalisasi prostitusi Sarkem telah ada sejak zaman Kolonial Belanda dan terus mengalami perkembangan di era Kemerdekaan. Menurut data yang mengalami dihimpun PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Yogyakarta, saat ini tercatat 300-an lebih pekerja seks yang berada di Sarkem dan jumlah tersebut mengalami peningkatan dari tahun ketahun.

Praktik prostitusi bukanlah hal yang baru di masyarakat, tak ada peraturan pasti yang melarang ataupun melegalkan praktik prostitusi tersebut. Kita tahu bahwa prostitusi merupakan salah satu bentuk perilaku sosial yang ada di sekitar kita dan kita juga tahu bahwa menjadi seorang pekerja seks dilarang oleh agama dan norma. Tapi apakah kita tahu, mengapa mereka tetap menjadi seorang pekerja seks walaupun mereka tahu tentang larangan- larangan yang ada dan mereka juga tahu tidak sedikit masyarakat  yang  beranggapan bahwa mereka hanya sampah masyarakat yang hanya akan merusak moral. Jika kita mau lebih memahami dan mendengarkan suara mereka sebenarnya dibalik itu semua banyak faktor yang melatarbelakangi pekerjaan yang mereka geluti.

Lika-Liku Kehidupan ‘PS’
S, salah seorang anggota perkumpulan bunga seroja menuturkan bahwa semenjak ditinggal pergi suami, ia terpaksa menjadi seorang PS demi mengemban tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga untuk mencukupi kebutuhan ketiga anaknya. Pihak keluarga tidak tahu menahu tentang pekerjaannya, yang mereka tahu adalah ia bekerja di sebuah toko. Sampai suatu ketika anak keduanya mengetahui pekerjaan yang sebenarnya, S sempat berhenti menjadi PS pada tahun 2004-2009. Tetapi lagi-lagi karena tuntutan ekonomi terpaksa ia kembali menggeluti pekerjaan dalam dunia hingar bingar malam. Menyinggung tentang penghasilan PS, S mengatakan, “Tidak ada jumlah pasti yang didapat, bisa dari Rp 80.000 - 150.000 per-satu pelanggan tergantung dari berapa pelanggan yang diperoleh dalam satu hari dan usia PS, semakin muda semakin mahal pula tarifnya”.

S didampingi PKBI, membentuk Perkumpulan Bunga Seroja dan aktif dalam Perhimpunan Perempuan Pekerja Seks Yogyakarta (P3SY), kemudian menggencarkan sosialisasi program pencegahan penularan HIV AIDS di kalangan pekerja seks. Melalui penggunaan kondom, diskusi dan tes kesehatan. 
Jika S bekerja sebagai PS lantaran tuntutan ekonomi, lain halnya dengan Srt, seorang mantan PS, dahulu karena sering mengalami KDRT (Kekerasan dalam  Rumah Tangga) oleh suami, maka kemudian memutuskan untuk terjun ke dunia prostitusi sebagai pekerja seks. Saat ini Srt telah memiliki suami sehingga ia berhenti sebagai PS. Hari-harinya disibukkan  dengan bekerja sebagai pembantu rumah tangga  dan aktif menjadi anggota perkumpulan bunga seroja.  

Banyak kegiatan positif yang dilakukan oleh para pekerja seks, diantaranya melalui perkumpulan bunga seroja. Bunga seroja merupakan salah satu wadah bagi para PS untuk menyalurkan anspirasi dan ide kreatif. Salah satu kegiatan yang mereka lakukan adalah  ketika bulan Ramadhan, para PS memiliki kegiatan pengajian di area kompleks Sarkem. Pada bulan Ramadhan PS juga melaksanakan ibadah puasa layaknya umat muslim yang lain. Mereka ‘beroperasi’ setelah usai sholat tharawih sampai menjelang sahur, selebihnya tempat mereka tutup guna menghormati bulan suci Ramadhan. Pemeriksaan berkala HIV AIDS merupakan agenda rutin yang mereka ikuti, bersama PKBI juga mereka mensosialisasikan pemakaian kondom dan HIV AIDS. Kaitannya dengan HIV AIDS  Dinkes setempat, sekitar 12,9 persen WTS di kawasan Jalan Pasar kembang, Sosrowijayan,Yogyakarta telah terkena penyakit menular seksual. Kesadaran dari diri sendiri mendorong mereka peduli akan HIV AIDS.

Menjadi seorang PS bukanlah hal yang mudah. Perlakuan kasar dan kekerasan dari pelanggan, persaingan antar PS, razia, cacian, hubungan mutualisma dengan pemilik losmen menjadi warna dalam kehidupan mereka. Tidak lepas hanya sekedar ukuran materi semata, aspek psikologis pun ikut andil di kehidupan para PS. Bagaimana tidak, gejolak batin yang mereka alami  merupakan pilihan sebagai PS dan masalah-masalah  yang ada di sekitar mereka merupakan  jalan hidup yang harus mereka tapaki walaupun jalan itu terjal dan berliku. Orang lain bisa berkata apapun tentang mereka, tapi siapa mereka hanya mereka yang tahu dan hanya mereka pula yang memutuskan.

Seharusnya kita sadar dan memahami bahwa seorang Pekerja Seks  adalah wanita yang memiliki perasaan, serta tetap seorang ibu dari anak-anaknya. Pekerja Seks yang dianggap sebagian masyarakat sebagai sampah, namun setidaknya sampah itu masih memiliki nilai di mata keluarga dan lingkungan  sekitar. Pepatah lama mengatakan siapapun dapat berubah menjadi lebih baik. Beri mereka dukungan, bukan cacian atau makian atas kesalahan yang mereka lakukan.
(Oleh: Mega Sandy Ayutama - Mahasiswi Semester 2 Fakultas Psikologi  Universitas Muria Kudus).

Follow our blog on Twitter, become a fan on Facebook. Stay updated via RSS

counter free hit unique web