Latest News

Pengestu, Menyemai Kesalehan Spiritual dan Sosial dari Ajaran Guru Sejati

By Psikologi Universitas Muria Kudus - Selasa, 25 Juni 2013



”Pangestu bukan agama dan tidak mengarah kepada pembentukan agama baru serta bukan aliran kepercayaan atau kebatinan”, kata Titik Rumsari, pemateri dari Pangestu di gedung serbaguna Universitas Setia Budi, Solo. Senin, (27/6/2013)

Puluhan mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Muria Kudus (UMK) saat mengikuti Kuliah Lapangan Psikologi Indonesia yang ingin tahu banyak tentang Pangestu tampak antusias mengikuti diskusi. Titik, pemateri pertama mengajak audiens mengenal secara dekat profil Pangestu, sehingga tidak ada bias atau stigma negatif yang muncul. Seperti dipaparkannya, Pangestu adalah singkatan dari “Paguyuban Ngesti Tunggal”,

Pangestu hadir menjadi terobosan dalam lakon hidup masyarakat spiritual modern yang kian memudar karena gerusan modernitas. Kekeringan spiritual mengundang nestapa masyarakat modern, the plight of modern man. Keberagamaan menjadi kering atau sekedar formalitas belaka, bahkan sebagian orang cenderung membenturkannya dengan  ranah politik. Melihat rekam keberagamaan yang sedemikian akut, R. Soenarto bersama dengan anggota lain dari Surakarta menggagas berdirinya Pangestu, 20 Mei 1949 silam.

Kesalehan Spiritual dan Sosial
Pangestu memiliki makna mendalam yang disarikan ke dalam visi-misinya. Paguyuban, berarti perkumpulan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan. Ngesti diartikan sebagai upaya batiniah yang didasari dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sementara Tunggal  adalah tujuan dari pagyuban ini, bersatu dalam hidup bermasyarakat dan bersatu kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa. “Jadi Pangestu tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin melatih batin agar dapat bersatu dalam hidup sesama dan bersatu dengan Tuhan”, tegasnya.

Seperti dijelaskannya, Pangestu merupakan kancah pendidikan dan pengolahan jiwa agar para anggotanya memiliki jiwa yang sehat dan kuat serta berbudi luhur. Pendidikan dan pengolahan jiwa yang ingin digalakkannya sebab dalam pandangan Pangestu, manusia memiliki sedikitnya tiga potensi dasar yakni organ kasar berupa panca indera, jiwa yang di dalamnya terdapat nalar, perasaan dan nafsu, serta rahsa jati atau ruhani. Manusia tidak boleh hanya ada di alam kasar yang inderawi, jiwa dan batinnya harus diolah sehingga dapat mencapai dimensi ruhani. Inilah yang disebut dengan “Candra Jiwa Indonesia”.
Candra Jiwa Indonesia diterjemahkan ke dalam laku hidup yang berlandaskan Hasta Sila (Tri Sila dan Panca Sila). Tri sila berisi pedoman tiga pedoman hidup, eling (sadar), percaya (percaya), mituhu (patuh, taat). Sila-Sila ini menjadi bekal manusia ketika harus berhubungan dengan sesembahannya, Tuhan Yang Maha Esa.

Alm. Prof. Dr. Soemantri Hardjoprakoso, salah seorang Putra Indonesia, anggota Pangestu Siswa Sang Guru Sejati telah mendapatkan gelar Doktor dengan predikat cum laude dalam ilmu Kedokteran di Rijksuniversiteit di Leiden, Belanda, pada tahun 1956 dengan disertasi ilmiah berjudul: Indonesisch Mensbeeld als basis ener Psychotherapie (terjemahan dalam bahasa Indonesia : Candra Jiwa Indonesia sebagai dasar pengobatan penyakit jiwa). Disertasi tersebut bersumber dari ajaran Sang Guru Sejati yang menjelaskan keadaan manusia dan candra jiwa (anatomi jiwa) manusia. Keadaan manusia terdiri dari badan jasmani kasar (raga) dan badan jasmani halus (jiwa atau psyche) serta alam sejati (pusat sumber kehidupan) di mana roh manusia, yaitu aku sejati manusia, berada dalam satu keadaan dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam kemanunggalan yang hakiki. Badan jasmani kasar manusia sebagaimana diuraikan dalam anatomi tubuh manusia yang dikenal dalam ilmu kedokteran yang memiliki pancaindera sebagai penghubung dengan dunia luar. Sementara dalam hubungan dengan sesama, Pangestu berpedoman pada Pancasila, yang berisi semangat filosofis hidup untuk rila (kerelaan), narima (menerima apa adanya), temen (bersungguh-sungguh), sabar (sabar) dan budi luhur. Sila-sila ini penting menjadi simpul semangat membangun kesalehan sosial.

Pengolahan jiwa dalam candra jiwa Indonesia ini berguna untuk menyiapkan sosok pribadi yang siap mengemban dua tugas, tugas pengabdian kepada Tuhan dan pengabdian masyarakat, seperti terlambang dalam logo Pangestu. “Bunga mawar melambangkan tugas ke luar yaitu melaksanakan tugas hidup bermasyarakat, dan bungan kamboja melambangkan tugas ke dalam, yaitu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa harus dengan bekal kesucian lahir dan batin,” paparnya.

Paguyuban olah batin yang mengusung slogan “Tiada hari tanpa pemeliharaan dan penaburan pepadang serta pelayanan dengan kasih sayang” ini berkomitmen untuk terus menyemai ajaran Sang Guru Sejati, Tuhan Yang Maha Esa. Di antara sumber ajaran ini, pertama, ilmu Ketuhanan (Tauhid dan Tasawuf) yang mengajarkan dan menerangkan sifat, kebijaksanaan, keadilan dan kekuasaan serta ‘keberadaan’ Tuhan Yang Maha Tunggal.

Kedua, filsafat hidup yang menerangkan dan menjelaskan akar permasalahan dan kejadian dalam kehidupan setiap diri manusia serta bagaimana harus bersikap agar mampu mengatasi dan menanggulangi segala perkara dengan sempurna.

Ketiga, ilmu jiwa (Psikologi) yang menerangkan dan menjelaskan tentang susunan jiwa dan komponen jiwa serta fungsi, mekanisme kerja dan saling hubungannya satu dengan lainnya. Keempat, ilmu kesehatan, utamanya kesehatan jiwa yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jasmani.
“Dengan modal sedikitnya keempat ajaran Sang Guru Sejati ini, diharapkan manusia dapat menjalankan perannya sebagai pengabdi Tuhan dan pengabdi kepada sesama”, tegasnya.

Kekeluargaan, Religius dan Nasionalis
Pangestu hadir dalam lanskap hidup anggotanya dengan membawa prinsip yang dijunjung tinggi. Prinsip-prinsip ini selain menjadi corak identitas, ia juga merupakan semangat dalam melakoni proses pelatihan jiwa di dalam lingkaran Pangestu.

Di antara prinsip ini adalah kekeluargaan dan kesetaraan. Di lingkungan Pangestu, setiap anggota adalah murid Sang Guru Sejati. Masing-masing anggota Pangestu melakukan proses pembelajaran dan pelatihan serta pelaksanaan Ajaran Sang Guru Sejati secara swadaya dan swakelola oleh dirinya sendiri. Tidak ada yang lebih senior atau junior. Semuanya, pada hakikatnya adalah sama, murid Sang Guru Sejati yang ingin menempa kualitas hidup.

Kedua, Pangestu adalah organisasi komunitas yang mengolah jiwa untuk mencapai kesalehan spiritual dan sosial. Ia bukan merupakan agama atau ingin membentuk aliran atau agama baru. Pangestu patuh dan menjunjung tinggi semangat agama sebagai basis modal sekaligus tujuan.

Ketiga, Pangestu mengusung semangat nasionalis. Ia bernaung dan sepenuhnya berasas Pancasila, dan Dasar NKRI.  Ia bersifat kejiwaan, mandiri dan tidak membedakan golongan, ras, derajat, agama dan kepercayaan. Pangestu juga tidak berpolitik dan atau bergabung dalam kelompok organisasi apapun.
(Said Abdul Muthalib, Mahasiswa Semester 2, Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus).

Follow our blog on Twitter, become a fan on Facebook. Stay updated via RSS

counter free hit unique web