Anak dalam Lingkaran Kekerasan
By Psikologi Universitas Muria Kudus - Kamis, 17 Februari 2011
Tanya:
Saya, seorang ibu yang memiliki anak dua orang, berusia 9 tahun dan 6 tahun. Rasanya cemas dan ngeri kalau mendengar berita di televisi dan membaca koran. Akhir-akhir ini, terdapat berita anak mengalami kekerasan seperti pembunuhan dan mutilasi. Bagaimana caranya agar kita bisa selalu menjaga anak kita?
Ibu Tono di Bae, Kudus
Jawab:
Ibu Tono yang saya hormati, sebelum saya menjawab poin pertanyaan yang ibu ajukan, perlu saya sampaikan di sini bahwa memang benar tingkat kekerasan terhadap anak saat ini cukup memprihatinkan. Berdasar data yang dilansir Direktur Nasional World Vision Indonesia Trihadi Saptoadi, bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap anak dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini mengalami peningkatan, dari 1.626 kasus pada tahun 2008 meningkat menjadi 1.891 kasus pada tahun 2009.
Kita bersyukur bahwa negara kita telah memiliki undang-undang perlindungan anak, yakni Undang-undang No. 23 tahun 2002. Namun begitu, menilik jumlah kasus "kekerasan terhadap anak yang selalu meningkat, tentu kita tak bisa berpangku pada undang-undang itu saja, tetapi juga perlu melakukan tindakan prefentif, yang sifatnya mengawasi langsung terhadap tumbuh kembang anak.
Di antaranya adalah diperlukannya pendampingan dari orang yang lebih dewasa yang bisa memfasilitatori (baca: bukan mendikte) kegiatan anak, semisal bermain, sehingga anak dapat belajar mengerti fungsi dan arti bermain. Selain itu, diperlukan pula pembelajaran lanjut, yaitu belajar. Proses ini memerlukan bimbingan dari orang tuanya secara benar dan betul. Pemberian akses dalam pengajaran haruslah menekankan adanya proses dari tidak tahu menjadi tahu pada diri si anak dan muatan-muatan moral dapat dimulai dilakukan lebih awal oleh orang tua dengan memberi contoh, dorongan dan pelibatan si anak untuk melakukan perbuatan baik yang baik, serta adanya pemulaaan untuk belajar akan orang dewasa siapa saja yang boleh mengajak, memegang dan menyentuh dirinya, agar anak terhindar dari kekerasan seksual dari orang di luar dirinya seperti orang tua, saudaranya, temannya, orang dewasa lain, juga oleh gurunya. Sehingga, anak berani ber-kata: tidak !, untuk upaya-upaya adanya tindak kekerasan, baik itu fisik, psikis atau seksual pada dirinya.
Jika anak telah dibimbing untuk tidak menolerir tindak kekerasan fisik dan seksual yang dialaminya, maka anak juga sangat perlu diajarkan untuk tidak melakukan tindak kekerasan fisik dan seksual kepada temannya atau anak yang lebih muda dari dirinya, dengan demikian proses saling belajar terjadi secara jujur dan adil.
Nah, Jika orang tua selalu menjaga untuk tidak melakukan perbuatan dan perilaku tidak terpuji di hadapan anak maka kondisi itu dapat menjadikan anak menjadi sosok kecil yang sehat secara utuh (fisik dan psikologis).
M. Widjanarko
Follow our blog on Twitter, become a fan on Facebook. Stay updated via RSS