Mendesak, Revitalisasi Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila
By Psikologi Universitas Muria Kudus - Senin, 08 Agustus 2011
UMK-Kesadaran atas prinsip dasar terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, kian pudar. Selama 32 tahun Pancasila “dibajak” sebagai alat kepentingan politik dan kebijakan untuk asimilasi SARA oleh rezim Orde Baru. Akhirnya, masyarakat menjadi alergi dan trauma untuk mengedapankan kedua prinsip tersebut.
Hal itu diungkapkan oleh Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Hamdi Muluk dalam Seminar Nasional Psikologi Multikulturalisme yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus (UMK) pada Senin (9/5) di Hotel Kenari Kudus.
Melalui makalahnya yang berjudul “Issu Multikultural di Indonesia; Kondisi Terkini dan Tantangan ke Depan”, Muluk membedah mengenai multikulturalisme Indonesia. Menurut Muluk, pada masa Orde Baru terjadi proses asimilasi. Sehingga orang etnis Cina harus berganti nama Indonesia. Saat ini, mengalami disorientasi, semangat kebebasan yang diusung justru memperlemah ikatan-ikatan di atara kelompok suku, agama, ras dan kebudayaan. Kondisi ini muncul beriringan ketika pemerintah gagal mengelola hampir semua sektor publik.
“Hilangnya kesadaran publik inilah yang semakin mempertebal rasa sektarianisme dan mengentalkan perasaan ingroup masing-masing kelompok,” jelasnya.
Senada dengan Muluk, Pembantu Rektor I UMK, Drs. Masluri, MM. dalam sambutannya mengatakan, saat ini nilai-nilai ke-Indonesiaan telah luntur. Sesuatu yang sepele dapat berbuntut pada pertikaian. Hal ini menurutnya, salah satunya disebabkan elit yang tidak layak menjadi teladan.
“Jangan-jangan Indonesia sudah hilang? Akan tetapi tidak secara geografis, namun nilai dan karakter manusianya,” katanya.
Masluri juga khawatir oleh keberhasilan dunia pendidikan di Indonesia dalam membentuk manusia yang cerdas akan tetapi gagal membentuk pribadi yang baik. Pasalnya, pelaku penyalahgunaan wewenang, baik itu dalam bentuk korupsi atau tindakan amoral lain, adalah produk dari pendidikan tinggi.
“Apalagi Mata Kuliah Pancasila sudah dihilangkan? Bagaimana pemahaman Pancasila akan tertanam?” katanya menegaskan.
“Kekerasan dan konflik selalu mewarnai Ke-Indonesiaan terkini. Kami prihatin atas realitas seperti ini,” kata Dekan Fakultas Psikologi, Drs. M. Suharsono, M.Si. sembari membandingkan dengan keharmonisan yang pernah terjalin pada masa awal berdirinya Negara Indonesia.
Melalui seminar seperti ini, Suharsono berharap dapat memberi kontribusi dalam rangka merekonstruksi kesadaran Bhineka Tunggal Ika. “Agar Indonesia ke depan lebih baik,” pungkasnya.
Kecuali Prof Hamdi Muluk, pembicara yang lain adalah Kepala Dinas Kebudayaan dan Parwisata Kabupaten Kudus, Drs Hadi Sucipto, M.Pd ; Direktur IMPULSE (Institute For Multiculuturalism & Pluralism Studies), Gutomo Priyatmono ; dan Hesty Armiwulan: Komisioner Sub.Komisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM . Setelah seminar nasional, acara dilanjut dengan presentasi oleh pemakalah-pemakalah yang telah mengirimkan hasil penelitian atau tulisannya ke panitia seminar nasional. (Farih/Hoery/Wid-Portal WEB UMK)
Follow our blog on Twitter, become a fan on Facebook. Stay updated via RSS